
Oleh : Erwin Syahruddin
Doktrin-doktrin hukum modern yang bersumber dari sistem hukum Anglo Saxon (Inggris-Amerika) maupun sistem hukum Continental (Eropa) sangat mempengaruhi sistem hukum perseroan di Indonesia. Hal ini berimplikasi pada konsep pertanggungjawaban pidana korporasi yang diterapkan di Indonesia. Terdapat beberapa prinsip yang sering digunakan dalam menjawab permasalahan pertanggungjawaban korporasi, antara lain sebagai berikut:
- Piercing the Corporate Veil
sebagai suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak pemegang saham atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh perseroan, tanpa melihat kepada fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan oleh perseroan. Dalam hal ini pengadilan akan mengabaikan fakta itu dan membebankan tanggung jawab pribadi kepada pihak yang menyebabkan terjadinya alasan disingkapnya tabir perseroan, dengan mengabaikan prinsip terbatasnya tanggung jawab pemegang saham[1]. Hal ini mengajarkan bahwa suatu badan hukum bertanggung jawab secara hukum hanya terbatas pada harta atau aset badan hukum tersebut, akan tetapi dalam hal-hal tertentu batas tanggung jawab tersebut dapat ditembus (piercing) sampai kepada harta atau aset para shareholders.
- Direct Corporate Criminal Liability
Corporate criminal liability berhubungan erat dengan doktrin identifikasi[2], yang menyatakan bahwa tindakan dari agen tertentu suatu korporasi, selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap sebagai tindakan dari korporasi itu sendiri[3]. Teori ini juga berpandangan bahwa agen tertentu dalam sebuah korporasi dianggap sebagai “directing mind”. Perbuatan dan mens rea para individu itu kemudian dikaitkan dengan korporasi. Jika individu diberi kewenangan untuk bertindak atas nama dan selama menjalankan bisnis korporasi, mens rea para individu itu merupakan mens rea korporasi[4].
- Strict Liability
Strict liability ini merupakan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault). Konsep ini dirumuskan sebagai the nature of strict liability offences is that they are crimes which do not require any mens rea with regard to at least one element of their “actus reus” (konsep pertanggungjawaban mutlak merupakan suatu bentuk pelanggaran/ kejahatan yang di dalamnya tidak mensyaratkan adanya unsur kesalahan, tetapi hanya disyaratkan adanya suatu perbuatan)[5].
- Vicarious Liability.
Vicarious liability hanya dibatasi pada keadaan tertentu dimana majikan (korporasi) hanya bertanggung jawab atas perbuatan salah pekerja yang masih dalam ruang lingkup pekerjaannya. Rasionalitas penerapan teori ini adalah karena majikan (korporasi) memiliki kontrol dan kekuasaan atas mereka dan keuntungan yang mereka peroleh secara langsung dimiliki oleh majikan (korporasi)[6].
Tesis utama teori ini adalah bahwa merupakan suatu langkah yang tepat bagi suatu korporasi untuk dipersalahkan walaupun tanggung jawab pidana tidak ditujukan kepada satu orang individu, melainkan pada beberapa individu. Teori aggregasi membolehkan kombinasi tindak pidana dan/atau kesalahan tiap-tiap individu agar unsur-unsur tindak pidana dan kesalahan yang mereka perbuat terpenuhi. Tindak pidana yang dilakukan seseorang digabungkan dengan kesalahan orang lain, atau ia adalah akumulasi kesalahan atau kelalaian yang ada pada diri tiap[1]tiap pelaku. Ketika kesalahan-kesalahan tersebut, setelah dijumlahkan, ternyata memenuhi unsur yang dipersyaratkan dalam suatu mens rea, maka teori aggregasi terpenuhi di sini[7].
- Corporate Culture Model
Ajaran yang memfokuskan pada kebijakan badan hukum yang tersurat dan tersirat mempengaruhi cara kerja badan hukum tersebut. Badan hukum dapat dipertanggungjawabkan secara pidana apabila tndakan seseorang memiliki dasar yang rasional bahwa badan hukum tersebut memberikan wewenang atau mengizinkan perbuatan tersebut dilakukan[8].
Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang adalah apabila dipenuhi semua unsur-unsur atau syarat-syarat sebagai berikut: a. Tindak pidana itu (baik dalam bentuk comission maupun omission) dilakukan atau diperintahkan oleh personel korporasi yang di dalam struktur organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi; b. Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi; c.Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi; d. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi; e. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana; f. Bagi tindak-tandak pidana yang mengharuskan adanya unsur perbuatan (actus reus) dan unsur kesalahan (mens rea), kedua unsur tersebut (actus reus dan mens rea) tidak harus terdapat pada satu orang saja[9].
[1] Hasbullah F. Sjawie, Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi, 2017, Kendana PrenadaMedia Group, Jakarta, hlm 142
[2] Teori identifikasi tersebut menyatakan bahwa perbuatan atau kesalahan “pejabat senior” (senior officer) diidentifikasi sebagai perbuatan atau kesalahan korporasi. Konsepsi ini disebut juga doktrin “alter ego” atau “teori organ”
[3] H.A. Palmer dan Henry Palmer, Harris’s Criminal Law, sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali, Asas-asas Hukum Pidana Korporasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 106.
[4] Dwidja Prayitno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Korporasi di Indonesia, Bandung: CV Utomo, 2004, hal. 27-28
[5] Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: PT Rajawali Pers, 2002, hal. 154.
[6] C.M.V. Clarkson, Understanding Criminal Law, sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali, Asas-asas Hukum Pidana Korporasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013, hal.119
[7] Stephanie Earl, “Ascertaining the Criminal Liability of a Corporation”, New Zealand Business Law Quarterly, 2007, hal. 212.
[8] Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014), hlm.165-166.
[9] Rodliyah, Any Suryani dan Lalu Husni, Konsep Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Corporate Crime) Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, Jurnal Kompilasi Hukum Volume Volume 5 No. 1, Juni 2020, 204-205